kisah nyata
perjuangan anak nelayan miskin bernama kasan dalam membangun perusahaan raksasa dan memprakarsai pendirian
universitas islam sultan agung.
Seorang filosof pernah mengungkapkan
bahwasanya kemiskinan itu sebenarnya merupakan suatu rona keindahan tersendiri
dalam kehidupan manusia suatu rona keindahan tiada tara. Hal ini pernah ku
hayati sendiri, tatkala aku dilahirkan kedunia ini. tepatnya pada tahun
1910.tanggal dan bulannya aku lupa.aku terlahir dari keluarga yg melarat,namun
aku tak mau menyerah dengan kemelaratan yang menimpah keluargaku, aku ingin
menjadi “Matahari Kehidupan” yang tak pernah padam. bolehlah aku lahir melarat
tapi mentalku tak boleh melarat bukankah aku ingin menjadi Matahari Kehidupan
dan bukankah matahari itu tidak disinari tapi Ia Menyinari aku tentulah ingin
seperti itu.
Namaku Kasan aku dilahirkan disebuah
perkampungan nelayan dusun angin-angin didaerah wedung kabupaten Demak. Ayahku
beernama Manggung, Ia adalah seorang nelayan tradisional Ibuku Bernama
Kasminah, Ia adalah seorang buruh Upahan dan Juga Buruh Pembantik dikedai milik
Cina, kakak-kakakku semuanya perempuan. adikki 2 orang, 1 perempuan dan 1 lagi
laki-laki.
Karena kemelaratan yang payah, aku
hanya mencapai pendidikan formal, SD kelas IV yang waktu itu disebut sekolah
Ongko loro dan aku lanjutkan dengan bekerja untuk mencari uang. Berawal dari
menjual kacang, kemudian menjadi penjual anyaman bambu. Kemudian aku juga
mencari nafkah sebagai seorang penjual air tawar. dan akhirnya aku berpindah
pekerjaan sebagai pesuruh atau kacung di pabrik beras. karena disiplin dan
kerja keras kedudukaku terus meningkat dari pesuruh meningkat menjadi sopir dan
akhirnya diangkat sebagai wakil menejer.
Aku menikah ketika umurku 20 tahun
bersama Siti Subaiah anak dari pak Haji Jufri aku dikaruniai 7 orang anak. kini
semua berhasil menduduki posisi sebagai pengusaha yang cukup dapat kubanggakan
setelah aku menikah, aku bekerja menjadi pengusaha pabrik kacang. Pribumi yang
sangat disegani Masyarakat. Lalu akhirnya aku mendirikan Universitas Sultan
agung dan juga Mesjid Baiturahman di Kota Semarang. Demikianlah sekelumit
riwayat hidupku. meskipun pendidikan formal yang ku tempu hanyalah sekolah
dasar. ternyata aku dapat bertindak sebagai seorang lulusan perguruan tinggi.
“Ambillah jika Engkau menemukan kebaikan dan buanglah jika engkau mendapat
keburukan. selebihnya sebagai penutup aku berpesan”: lebih baik tertawa dihari
tua, menangis dimasa muda, dari pada tertawa dimasa muda, tetapi menangis
dihari tua.
Sumber :
Dunia Tanpa Batas
Oleh :
Firta Atoli (kelas X.b)